Kadis Pendidikan Sumut Mundur dan Naluri Akademik

FB_IMG_1644747482189.jpg

Sumut.KlikOzone.com.
INSAN pendidikan di Sumatra Utara sedikit kaget dengan mundurnya Prof Drs Wan Syaifuddin MA PhD dari jabatan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumatra Utara. Sebuah jabatan yang pretisius dan selalu incaran para ASN (birokrasi dan akademisi), justru ditinggalkan begitu saja. Fasilitas dan penghasilan serta privilege lain yang melekat pada jabatan pimpinan tinggi pratama (eselon IIa) tidak terlalu dipentingkan. Alasan pengunduran diri mantan Dekan FIB USU adalah kesibukan di kampus.
Pengunduran diri guru besar USU ini menarik untuk didiskusikan. Setidaknya sebagai bahan kajian sederhana bidang manajemen SDM.

Pengalaman ketika mengundurkan diri dari jabatan Kadis Pendidikan Kota Gunungsitoli (2015) dan mengurus adminstrasi untuk kembali ke kampus, bagian mutasi dosen Kemdikbud RI menginformasikan bahwa cukup banyak dosen dari berbagai daerah di Indonesia yang semula menjadi pimpinan tinggi pratama di kabupaten/kota/provinsi “tidak nyaman” dan mengajukan permohonan untuk kembali menjadi dosen.

Salah satu alasan yang sempat terungkap dari teman-teman kala itu adalah ketidakmampuan mengamankan kebijakan pimpinan. Tulisan ini berupaya mendeskripsikan kebijakan pimpinan yang “bertabrakan” dengan naluri akademik. Setidaknya berdasarkan pengalaman pribadi dan hasil diskusi dengan teman-teman yang senasib. Perlu dipahami bahwa paparan ini sebatas kasus.

Disorientasi Visi dan Misi
Bukan lagi hal yang harus dirahasiakan bahwa visi dan misi yang diusung oleh para kepala daerah ketika kampanye dan debat sering disorientasi. Untaian kata-kata indah sengaja dikemas untuk menyihir para pemilih. Kadang juga tidak kohesif dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah /Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah yang telah ditetapkan sebelumnya. Akhirnya, program dan kegiatan yang digaungkan pada saat kampanye tidak dapat diakomodasi dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).

BACA JUGA: Universitas Nias dan Sarjana Modern

Oleh karena libido berkuasa demikian tinggi, kadang para calon kepala daerah juga tidak memperhatikan posisi keuangan daerah. Di Nias, misalnya, kepala daerah terpilih pada tahun 2011 menjanjikan kepada masyarakat untuk membangun pabrik karet sehingga dapat mendongkrak harga karet rakyat. Hasilnya? Lirik ….“tapi janji tinggal janji bulan madu hanya mimpi”… dari judul lagu “Dingin” karya Rinto Harahap pada tahun 80-an menjadi pelipur lara masyarakat.

Demikian juga dengan kata “gratis ini-itu” diumbar untuk meraih suara dari masyarakat lapis bawah. Dan masih banyak lagi janji-janji para kepala daerah yang tidak dapat direalisasikan. Ketika hal ini diingatkan dengan mudahnya berkelit: keterbatasan anggaran.

Mengamankan Kebijakan
Anderson yang dikutip Islamy (2000) mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang atau sekelompok orang guna memecahkan suatu masalah tertentu. Dalam konteks pendidikan, kebijakan dimaknai sebagai keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi dan misi dalam rangka mewujudkaan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu (Muchlis, 2002). Pengertian kebijakan pada tataran teoretis ini cukup sederhana serta sebagai falsafah atau panduan dalam melaksanakan program dan kegiatan yang tertera dalam RKPD.

Dalam kenyataannya, Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD) yang memuat pendapatan dan belanja setiap SKPD sebagai dasar pelaksanaan oleh pengguna anggaran menjadi sarang penggerogotan dari berbagai pihak (baca: kepala/wakil kepala daerah dan anggota legislatif).

Kegiatan fisik/infrastruktur dan pengadaan barang telah diatur pemenangnya oleh orang-orang kepercayaan pimpinan daerah (biasanya dari orang terdekat). Berbagai istilah tercipta seperti dump truck sebagai alihan dari dana taktis (DT), FP (fee project), dan terminologi lainnya.

DT atau FP inilah yang menjerat pada kepala daerah tertangkap tangan oleh KPK. Tidak dapat dimungkiri pernyataan Ketua KPK dalam Seminar Nasional dan Konvensi Hari Pers Nasional di Kendari bahwa korupsi terjadi karena telah dijadikan sebagai budaya di setiap kabupaten/kota dan provinsi (Analisa, 10/2/2022). Biasanya dipatok antara 10-15% dari nilai proyek.

Para rekanan yang telah mendapatkan sinyal merah menyetor panjar setengahnya sebelum tender dan kekurangannya akan dilunasi pada saat pencairan dana proyek. PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dan PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) yang menjadi operasional lapangan dan/atau orang terdekat kepala daerah.

Tentu saja dengan sepengetahuan PA (Pengguna Anggaran/Pimpinan SKPD). Tender elektronik nyaris tidak mengurangi praktik KKN (baca: kleptokrasi). Dalam situasi seperti inilah biasanya terjadi pertempuran dalam batin pimpinan SKPD yang berasal dari kalangan akademisi (mereka-mereka dari birokrasi murni menganggap hal tersebut sebagai hal biasa).

Ketika sikap idealisme terpelihara dengan baik, akan bermuara pada ketidakharmonisan dengan pimpinan dan pihak terkait lainnya. “Amankan kebijakan pimpinan,” pun akan dijadikan sebagai klausa pamungkas. Jika seseorang akademisi yang telah menenggelamkan idealismenya dan memilih untuk realistis, akan tetap bertahan bahkan akan menjadi “pemain” baru dalam mengamankan kebijakan pimpinan.

Selain mengamankan kebijakan pimpinan dalam pelaksanaan anggaran, hal yang sering menjadikan kepala SKPD kurang nyaman, khususnya yang memiliki ASN terbanyak (pendidikan dan kesehatan) adalah penempatan personel yang dipaksakan. Apalagi jika ASN tersebut memiliki hubungan, baik kekerabatan maupun lainnya dengan pimpinan dan anggota legislatif.

Biasanya (tentu saja tidak semua) selalu membawa-bawa nama yang membackup mereka. Lagi-lagi, kepala SKPD akan terhimpit dengan pola penempatan personil yang tidak mengedepankan kompetensi dan profesionalisme tetapi dengan “wani piro”. Alhasil, akademisi yang terbiasa berkerja berdasarkan aturan akademik akan memberontak. Ujungnya? Mundur dan kembali berkarir sebagai dosen.

Mudah-mudahan mundurnya Prof Syaifuddin dari jabatan Kadis Pendidikan Sumut semata-mata komitmen mendidik anak bangsa (mahasiswa) menjadi generasi yang berkualitas. Namun, itulah sekelumit sengkarutnya atmosfir birokrasi pemerintah daerah.

Reformasi birokrasi yang selalu digaungkan oleh Presiden Joko Widodo berhenti pada tataran kata. Menpan RB sebagai peluru terdepan masih belum mampu mengurai benang kusut yang melilit penyelenggaraan pemerintah di daerah. “Korupsi itu terjadi karena gagal dan buruknya sistem yang ada di kabupaten/kota dan provinsi,” demikian pendapat ketua KPK (Analisa,10/2/2022).

Penutup
Diharapkan dalam sisa masa jabatan Pak Joko Widodo, penyelenggaraan pemerintah yang bebas KKN (kolusi, korupsi, nepotisme) yang digemakan oleh mahasiswa dan tokoh reformasi lainnya hampir seperempat abad (1998) dapat terwujud secara paripurna. Semoga tidak bermetamorfosis menjadi aristokrasi dan/atau oligarki.

Mengakhiri tulisan ini menarik disimak pernyataan Ketua KPK, Firli Bahuri, “Sekecil apa pun nominalnya uang akan cukup jika digunakan untuk kebutuhan hidup dan sebesar apa pun uang tidak akan cukup jika digunakan untuk memenuhi keinginan hidup”.

Semoga pejabat pemerintah di Sumatera Utara (gubernur/bupati/wali kota) membangun budaya anti korupsi. Cukuplah 17 orang bupati/walikota, 2 orang gubernur, dan 60 anggota DPRD Sumut yang menginap di Tanjung Gusta Medan sejak 2003 sampai awal 2022 ini karena terjerat kasus korupsi dan suap.

====
Penulis Dosen LLDikti Wilayah I Sumut, dipekerjakan pada Program Pascasarjana Universitas Prima Medan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

scroll to top